Sebuah Cerita Sebuah Nama

Rabu, 14 April 2010

Diposting oleh adibest


Jakarta, sebagai pusat segala kegiatan di tanah air, sering menjadi pelabuhan impian buat sebagian orang. Tidak salah memang. Namun sering kali, kenyataan yang ditemui, tak seindah impian yang telah dirajut, sejak di kampung halaman, hingga keberangkatan ke Jakarta.

Adalah seorang bapak, memutuskan mengadu nasib di kejamnya rimba ibukota, demi meraih kehidupan yang lebih baik. Istri dan Anak-Anaknya, turut serta dibawa. Dengan berbekal sejumlah uang, Hussein Wijaya, nekat merantau ke Jakarta. Istrinya, yang baru mengandung muda, dan ke-3 Anak balita mereka, turut serta.

Secara ekonomi, kehidupan keluarga Hussein di kampung halaman, di sebuah desa di Jember, Jawa Timur, bisa dibilang jauh dari sederhana. Pekerjaan sebagai buruh serabutan, tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rumah yang selama ini dihuninya, statusnya tak jelas. Karena itulah, Hussein memutuskan meninggalkan kampung halaman, merantau ke Jakarta.

Tinggal di bawah kolong jalan layang, dibilangan Ancol, Jakarta Utara, menjadi pilihan Hussein begitu tiba di ibukota. Dengan sedikit uang yang masih tersisa, Hussein membangun rumah ala kadarnya. Dan sebagai usaha awal untuk menyambung hidup, dirinya membuka warung nasi. Sayang, karena belum mengenal dengan baik wilayah disitu, usahanya bangkrut. Banyak pelanggan yang berhutang kepadanya.

Hussein tak putus asa. Untuk yang kedua kalinya, ia kembali membuka usaha warung nasi, namun sayang usahanya ini pun, kandas di tengah jalan. Minimnya pengalaman hidup di kota Jakarta yang sedemikian keras, membuatnya terlalu mudah membiarkan pelanggannya berhutang. Meski berbagai kegagalan telah dialaminya, tak membuatnya berpangku tangan. Ia tetap bertahan, walau hanya dengan mengandalkan komisi dari jasa mempertemukan penjual dan pembeli kardus bekas, untuk menghidupi keluarganya.

Barangkali apa yang dialami Hussein, tak beda jauh dengan penghuni lain, yang tersebar di sepanjang kolong jembatan tol. Bangunan-bangunan liar yang awalnya muncul tahun 80-an ini, sebenarnya sudah berulang kali mengalami penggusuran. Penyebabnya, mulai dari tidak adanya ijin, keberadaannya yang tak sedap dipandang mata, hingga lokasi yang berdekatan dengan rel kereta api, membahayakan keselamatan penghuni setempat. Apalagi status para penghuni saat itu, yang mayoritas adalah pendatang dari daerah, banyak yang tidak memiliki pekerjaan pasti.

Namun, ketika penggusuran berlangsung, pesangon yang didapat tak mencukupi, banyak yang memutuskan tetap bertahan di tempat itu. Bangunan-bangunan semi permanen yang telah roboh, kembali mereka bangun. Dan bangunan-bangunan itu berdiri begitu saja, membentuk sebuah perkampungan. Sebagian besar penghuni di lokasi ini pun telah memiliki pekerjaan, seperti menjadi buruh bangunan, kuli panggul, pemulung, hingga sopir.

Sampai saat ini, tercatat sekurangnya seratus orang, menghuni puluhan rumah tersebar dibawah kolong jalan layang. Untuk memudahkan sistem administrasi warga, mereka terbagi menjadi 2 kelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seseorang yang dituakan dalam lingkungannya. Jabatan ketua kelompok ini setara dengan Ketua RT. Secara hukum, status penghuni disini adalah pendatang karena kebanyakan tanda pengenalnya berasal dari daerah.

Namun berdasarkan wilayah tinggal mereka, masuk kedalam kelurahan Ancol. Selama menghuni di wilayah itu, mereka hanya berbekal surat keterangan tinggal sementara, dengan stempel RW dan Kelurahan, sebagai tanda sah. setidaknya, mereka masih bisa bernafas lega, karena merasa diakui.

Kesibukan penghuni di sepanjang kolong ini memang tampak mapan, seperti perkampungan pada umumnya, yang terlihat di tempat-tempat lain. Suara bising dan kepulan asap, seolah telah menyatu dengan kehidupan mereka sehari-hari. Kegiatan bermasyarakat pun seperti olah raga, pengajian, berjalan apa adanya. Rasa takut dan bahaya yang mengancam setiap saat, tampaknya sudah tak dihiraukan lagi.

Keamanan lingkungan, sering pula menjadi sesuatu yang mahal di tempat seperti ini. Namun menurut pengakuan penghuninya, mereka mampu menciptakannya. Rasa takut dan ancaman tindak kriminal, bisa dihilangkan dengan sistim keamAnan lingkungan atau siskamling yang dilaksAnakan oleh penghuni setempat secara rutin.

Sulit dibayangkan, jika penghuni di kolong jalan layang, yang bisa dibilang telah hidup mapan, terpaksa harus hengkang dari tempat itu. Sebagian besar bangunan di tempat ini, telah berdinding tembok. Tentu tak sedikit modal yang mereka keluarkan, untuk membangun.

Karena biasanya, program-program penggusuran yang ada, lebih banyak menguntungkan pihak-pihak tertentu. Bila berhitung, ongkos ganti rugi yang akan diterima, mungkin tak sebanding dengan pengorbanan mereka ketika datang di tempat itu, belum lagi resiko yang harus mereka hadapi selama tinggal disitu.

Siapapun, tentu tak ingin menjalani kehidupan yang penuh dengan resiko. Apalagi tinggal di tempat rawan bahaya, seperti di bawah jalan layang, dekat rel kereta api. Ditemani rasa takut, suara bising dan kepulan asap sepanjang waktu. Namun karena himpitan ekonomi, impian untuk memiliki rumah sederhana di tempat yang selayaknya, bagai sebuah mimpi belaka. Entah sampai kapan mereka berdiam disini. Mereka hanya menunggu, seraya berusaha menyambut nasib baik yang akan berpaling pada mereka.

Sisi Lain Kehidupan di Kolong Jalan Layang

Kehidupan dibawah kolong jalan layang, seperti di bilangan Ancol, Jakarta Utara, tak selamanya identik dengan kekerasan. Jika pandai menyiasati hidup, tinggal di bawah kolong jalan layang, bisa memperoleh rejeki secara halal. Seperti yang dilakukan pasangan suami istri, Dodik dan Ana. Ketika mendatangi tempat itu untuk pertama kalinya, kurang lebih setahun yang lalu, penghuninya belum terlalu padat.

Ana dan suaminya, yang juga perantau dari daerah ini, lalu memutuskan membuka usaha membuat peti baut dan sayur di tempat itu. Ketrampilan suaminya membuat peti ini diperoleh ketika bekerja pada orang lain. Merasa dapat mandiri, suaminya memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Awalnya, mereka agak ragu membuka usaha di tempat itu, yang sarat dengan kehidupan keras. Namun lambat laun keraguan itu bisa ditepisnya dengan tekad mencari rejeki.

Saling bahu membahu, pasangan suami istri ini bekerja, hampir tak kenal waktu. Ana bertugas mencabuti paku-paku dari peti bekas. Sedang sang suami, membuat peti sesuai ukuran yang dipesan. Bekal ketrampilan membuat peti ini, didapat Dodik sewaktu ia bekerja di tempat usaha sejenis milik orang lain. Pesanan peti pertama datang dari pelanggan lama, selanjutnya menyebar dari mulut ke mulut.

Bahan-bahannya, berasal dari peti bekas sayur, buah-buahan, atau ikan bandeng. Peti-peti bekas ini diperoleh secara musiman di pelelangan ikan. Jika musim ikan bandeng tiba, agar tak kehabisan bahan, maka sang suami sejak malam sudah berangkat menuju pelabuhan. Ketika subuh tiba, peti-peti itu barulah dibawa pulang dengan gerobak.

Peti bekas ini, dibeli dengan harga 1000 rupiah perkeping. Setelah dipreteli, disusun kembali menjadi peti baru dengan ukuran sesuai pesanan. Peti-peti baru ini lalu dijual dengan harga antara 2500 rupiah hingga 3000 rupiah. Minimal Ana dan suaminya bisa mengantungi keuntungan 1000 rupiah per-peti, setelah dikurangi ongkos pembuatan.

Dalam sehari mereka bisa membuat sebanyak 20 hingga 50 peti, tergantung jumlah pesanan dan waktu yang diperlukan. Kadang mereka harus bekerja 24 jam terus menerus, demi memenuhi permintaan pelanggan.

Meski sempat sepi order, imbas dari krisis ekonomi, namun berkat keuletan, mereka tetap bisa bertahan hidup. Bahkan bisa menyekolahkan anak-anak mereka yang tinggal di kampung halaman, hingga ke bangku kuliah.

Mereka adalah pendatang di Jakarta yang hidup di kolong jembatan layang, dan tengah merajut impiannya. Mereka memang pandai menyiasati hidup, di tengah deru roda kehidupan ibukota yang sarat dengan lakon kehidupan.

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger

Mengenai Saya

Foto saya
aku seorang pemuda yang ingin mangungkapkan beberapa fakta dibalik citra kemegahan dunia

Waktu Saat Ini